Ditulis Oleh ; Yostiani Noor Asmi Harini
“Jangan!!!” ucap Surya.
Deg. Luna kaget. Luna tidak pernah dibentak siapa pun. Air mata Luna jatuh ke tanah. Luna berusaha menghapus air matanya. Namun, tangisnya semakin deras. Luna pun mulai merasakan sesak napas. Saat Luna membuka mata, ia tiba-tiba ada di klinik sekolah. Ia membuka tirai yang menutup tempat tidurnya. Ia melihat ada Bu Soca dan Pak Hate yang menunggunya.
“Hai, Luna. Kamu sudah bangun? Masih sesak?” tanya Bu Soca.
“Masih pusing?” tanya Pak Hate.
Luna mengangguk lalu menggelengkan kepalanya. Bu Soca meletakkan telapak tangannya di kening Luna.
“Panasnya sudah reda,” kata Bu Soca.
“Luna, coba tarik napas,” tutur Pak Hate.
Luna menarik napasnya.
“Luna, buang napas,” tutur Pak Hate.
Luna membuang napasnya.
Pak Hate berulangkali meminta Luna menarik napas dan membuang napas. Pak Hate menyerahkan kacamata Luna.
“Dengarkan kata-kata saya, Luna. Saat Luna memakai kaca mata ini, Luna akan mengerti. Tidak ada orang yang jahat pada Lun,.” Pak Hate mengulangi kata-kata itu. Luna mengangguk kemudian memasang kacamatanya. Luna merasa sangat sehat.
Bu Soca dan Pak Hate mengantar Luna keluar klinik.
“Terima kasih Bu Soca dan Pak Hate,” Luna tersenyum dan melambaikan tangannya.
Sesampainya di kelas, Luna kembali duduk di samping Surya. Surya ialah murid baru di kelas itu. Luna diminta ibu guru untuk duduk satu bangku bersama Surya.
“Luna, kamu tadi kenapa? Gara-gara aku, ya?” tanya Surya sambil berbisik.
Luna merasa sedikit takut kepada Surya. Namun, ia ingat kata-kata Pak Hate. Katanya, “Saat Luna memakai kacamata ini, Luna akan mengerti. Tidak ada orang yang jahat pada Luna.” Luna membenarkan letak kacamatanya lalu tersenyum kepada Surya.
“Kata bu guru, aku harus minta maaf padamu,” suara Surya terdengar oleh teman-teman sekelas.
“Suuut …” teman-teman sekelas meletakkan jarinya di bibir sambil menatap Surya dan Luna.
“Ngobrolnya nanti saja ya, pas pulang sekolah,” kata Luna.
Surya mengangguk.
Saat pulang sekolah, Surya dan Luna saling meminta maaf. Mereka jalan kaki bersama menuju rumah masing-masing. Di sepanjang jalan, mereka mengobrol. Suara Surya memang keras. Sesekali Luna harus memberi tahu agar Surya memelankan suaranya.
“Surya, maaf, jangan terlalu keras,” bisik Luna.
“Oh, iya, maaf.” jawab Surya.
“Surya, aku mau tanya, tapi kamu jangan marah,” ucap Luna.
“Iya. Mau tanya apa?”
“Waktu kamu melarangku membuka buku kamu, kenapa suaramu keras sekali? Aku merasa dibentak. Aku langsung kaget.”
“Soalnya, sebelum pindah ke sini, aku tinggal di perkebunan. Jarak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya berjauhan. Suaraku harus keras agar terdengar.”
“Oh begitu …” ujar Luna.
“Luna, aku juga mau tanya, tapi kamu jangan marah,” ucap Surya.
“Boleh. Mau tanya apa?”
“Kenapa suaramu kecil?” kata Surya.
“Karena aku tinggal di tempat yang padat penduduknya. Kalau suaraku keras, nanti terdengar oleh tetangga.”
“Oh begitu …” ujar Surya.
Mereka berjalan sampai ke rumah Surya. Saat tiba di halaman rumah Surya, Luna mendengar suara Ibu dan Ayah Surya yang juga keras.
Surya masuk ke rumahnya lalu melambaikan tangan. Luna balas melambaikan tangan sambil tersenyum. Luna membenarkan letak kacamatanya. Ia ingat pesan Pak Hate, “Saat Luna memakai kacamata ini, Luna akan mengerti. Tidak ada orang yang jahat pada Luna.” ***